Lintas-Enam.com, Mamasa – Rambu solo dalam terjemahan harafiah, berarti asap yang menurun.
Ini merupakan ritual pemakaman adat masyarakat Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar).
Rambu berarti asap dan solo artinya turun.
Asap yang menurun bermakna, pemotongan hewan pada acara tersebut, hanya boleh dilakukan saat matahari mulai terbenam (turun).
“Semua hewan yang dibantai harus dibantai di atas jam 12,” kata Maurids Genggong, tetua adat Kecamatan Tawalian, Mamasa pada acara rambu solo almh. Ester To’tuan, Rabu (17/7/2024).
Pelaksanaan rambu solo menelan biaya yang cukup fantastis.
Rambu solo almh. Ester To’tuan misalnya. Biayanya mencapai kisaran Rp2 miliar.
“Sekitar 2 miliar,” ungkap Zadrak To’tuan, anak ke-7 dari almh. Ester To’tuan.
Nominal itu, didapat dari hasil patungan rumpun keluarga.
Tak mengherankan, sebab upacara ini penuh dengan ragam prosesi dan dilangsungkan selama beberapa hari.
Hewan yang dikurbankan juga capai ratusan ekor.
“Untuk sementara, kalau babi yang kami sudah hitung-hitung sudah ada hampir 200 ekor, kalau kerbau ada kurang lebih 20,” katanya, di hari kedua upacara, Rabu 17 (7) siang.
Prosesi-prosesi unik dalam rambu solo ini antara lain, seperti penjemputan pelayat dan ma’badong.
Saat penjemputan pelayat, sekelompok orang akan membawa padaling (serupa gong kecil) dan seekor tedong bonga (kerbau belang).
Tedong bonga dengan iringan gema padaling akan berjalan mendahului para pelayat yang mengikut di belakangnya.
Penjemputan ini sebagai bentuk penghargaan kepada pelayat yang datang.