Rambu Solo di Mamasa dan Toraja, Apa Bedanya? Ini Kata Tetua Adat Tawalian Mamasa

upacara rambu solo, Almarhumah Ester To'tuan di Desa Tawalian Timur, Rabu (17/7/2024).

Lintas-Enam.com, Mamasa – Rambu solo merupakan suatu rangkaian ritual adat pada proses pemakaman masyarakat di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar).

Masyarakat Mamasa sendiri adalah sub suku Toraja, yang umumnya tinggal di bagian barat wilayah Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Seperti halnya Mamasa, masyarakat Toraja pada umumnya, juga mengenal istilah Rambu Solo’.

Selain memiliki nama atau penyebutan yang sama, prosesi-prosesi yang dijalankan juga hampir tak terlihat perbedaannya.

Kakak beradik persukuan ini memang memiliki banyak kemiripan budaya lantaran serumpun.

Maurids Genggong, salah satu tetua adat Kecamatan Tawalian, Kabupaten Mamasa, menyebut, ada yang berbeda dalam pelaksanaannya.

Baca Juga:  Wisata Air Terjun Tapeduri Periangan, Rekomendasi Buat Liburan Bersama Keluarga

Hal itu ia ungkap saat ditemui di sela upacara rambu solo, Almarhumah Ester To’tuan di Desa Tawalian Timur, Rabu (17/7/2024).

“Saya akan jawab sesuai dengan apa yang saya dengar dari orang tua,” ucap Maurids, memulai ceritanya.

Dia menjelaskan, kedua suku ini sama-sama memaknai rambu solo sebagai upacara kedukaan. Namun letak pembedanya pada saat prosesi penjemputan tamu pelayat.

Toraja menyambut kedatangan pelayat dengan ma’singgi’ atau memberikan sanjungan, yang baginya kadang berlebihan.

Sedangkan Mamasa punya ketentuannya sendiri. Singgi’ dalam adat Mamasa kata Maurids, hanya diperuntukan kepada masyarakat berkasta tinggi.

Baca Juga:  Wisata Air Terjun Tapeduri Periangan, Rekomendasi Buat Liburan Bersama Keluarga

“Di Mamasa ini ada juga kasta sama dengan Hindu. Kita punya lima kasta juga,” tuturnya.

Singgi’ dilontarkan menggunakan sastra tingkat tinggi sebagai bentuk penghargaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *